Oleh: H. Deni Prasetya
(Ketua Bidang Pertanian dan Perkebunan PW GP Ansor Jatim)
JURNALREPORTASE.COM, OPINI - Industri gula nasional tengah menghadapi paradoks yang ironis. Di satu sisi, Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan potensi lahan subur yang luas; namun di sisi lain, petani tebu justru bergelut dengan beragam persoalan yang membuat bisnis tebu tak semanis gula tebu. Kondisi ini memperlihatkan belum optimalnya tata kelola sektor pergulaan nasional dari hulu hingga hilir.
Program Bongkar Ratoon yang digagas pemerintah sejatinya merupakan langkah positif dalam memperbarui produktivitas tanaman tebu melalui peremajaan. Namun keberhasilan program tersebut sangat bergantung pada perencanaan teknis yang baik, jelas, dan terukur. Pelatihan serta pendampingan petani menjadi kunci agar mereka mampu menjadi penakar bibit bersertifikasi dan menilai kelayakan bibit secara mandiri. Dengan cara ini, bibit yang digunakan akan lebih berkualitas, produktif, dan berkontribusi pada terwujudnya swasembada gula nasional.
Selain itu, perlu dilakukan pemetaan wilayah penanaman tebu, terutama di daerah-daerah yang memiliki pabrik gula. Setiap daerah memiliki karakteristik tanah, iklim, dan pola tanam yang berbeda, sehingga jenis bibit, masa tanam, hingga waktu panen perlu disesuaikan dengan kondisi lokal. Pendekatan berbasis wilayah ini akan berdampak langsung terhadap peningkatan rendemen, yakni kadar gula yang dihasilkan dari tebu yang selama ini menjadi persoalan utama rendahnya keuntungan petani.
Di era modern, pertanian pun harus ditunjang oleh teknologi modern. Penggunaan alat berat seperti traktor untuk olahan tanah, drone untuk penyiraman, hingga mesin panen otomatis bukan lagi sebuah kemewahan, melainkan kebutuhan. Dengan dukungan alat modern, efisiensi kerja meningkat, biaya produksi bisa ditekan, dan kualitas hasil panen lebih terjamin. Sayangnya, sebagian besar petani tebu masih mengandalkan cara-cara tradisional karena keterbatasan modal dan akses terhadap teknologi.
Persoalan lain yang tak kalah penting adalah kondisi lahan tebu yang terus menurun kesuburannya akibat penanaman yang dilakukan bertahun-tahun tanpa jeda. Lahan yang tidak diistirahatkan akan kehilangan unsur hara penting dan berdampak pada menurunnya hasil produksi. Untuk itu, penggunaan pupuk organik menjadi keharusan sebagai bagian dari penerapan pertanian berkelanjutan. Pemerintah dan pabrik gula seharusnya mendorong langkah ini melalui pelatihan serta subsidi pupuk organik agar kesuburan tanah tetap terjaga dalam jangka panjang.
Kendala utama petani tebu hari ini adalah akses permodalan. Mulai dari pengadaan bibit, biaya pengolahan lahan, perawatan, hingga proses tebang dan transportasi memerlukan biaya besar. Tanpa dukungan finansial yang memadai, petani akan kesulitan bertahan. Karena itu, pemerintah perlu menyiapkan skema pembiayaan khusus bagi sektor pertebuan, baik dalam bentuk subsidi, pinjaman lunak, maupun kemitraan yang berpihak kepada petani.
Dalam konteks ini, koperasi bisa menjadi solusi. Diperlukan kebijakan pemerintah yang memungkinkan permodalan dikelola oleh koperasi petani tebu. Koperasi berperan tidak hanya sebagai penyalur pinjaman, tetapi juga mengatur operasional petani hingga ikut dalam proses lelang gula hasil panen. Dengan model koperasi yang transparan dan profesional, petani akan memiliki posisi tawar yang lebih kuat dalam rantai nilai industri gula.
Musim giling tahun 2025 menjadi catatan kelam bagi banyak petani. Banyak di antara mereka yang gelisah karena gula hasil tanamnya tidak terserap pasar, bahkan sebelum masuk ke pabrik. Kondisi ini membuat sebagian petani beralih ke komoditas lain yang dianggap lebih menjanjikan. Pemerintah harus hadir dan membuka ruang solusi terhadap fenomena ini, apakah persoalannya terletak pada kebijakan impor, lemahnya tata niaga, atau distribusi yang tidak efisien.
Di tengah kompleksitas masalah tersebut, ada satu isu mendasar yang juga perlu mendapat perhatian, yakni minimnya regenerasi petani. Generasi muda hari ini cenderung menjauhi dunia pertanian karena dianggap tidak menjanjikan. Pemerintah harus mendorong hadirnya kelompok petani tebu muda melalui program yang menarik, berbasis teknologi digital, serta akses pembiayaan yang lebih terbuka. Regenerasi petani menjadi upaya membangun masa depan kedaulatan pangan bangsa.
Namun semua upaya tersebut akan sia-sia jika banjir impor gula pasir terus dibiarkan. Impor yang berlebihan bukan hanya menekan harga gula dalam negeri, tetapi juga mematikan semangat para petani lokal. Sudah saatnya pemerintah mengambil langkah tegas untuk menghentikan impor gula secara bertahap dan fokus memperkuat produksi dalam negeri dengan kebijakan yang berpihak kepada petani.
Bisnis tebu memang tak semanis gula tebu, setidaknya bagi para petani kecil yang menjadi tulang punggung industri ini. Namun dengan perencanaan yang matang, modernisasi alat, dukungan permodalan, serta keberpihakan nyata dari pemerintah, tebu Indonesia masih memiliki harapan untuk kembali manis, bukan hanya di pabrik, tetapi juga di kehidupan para petaninya. (*)